
Kartini yang dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan, terdapat sosok ibu yang memberikan pengaruh besar dalam membentuk karakter dan perjuangannya.
Dia adalah Mas Ajeng Ngasirah, perempuan desa yang bukan keturunan bangsawan, tetapi menjadi ibu kandung Kartini.
Lahir dari pasangan Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara, Ngasirah tumbuh dalam lingkungan yang religius dan sederhana.
Ia tidak pernah mengecap pendidikan formal, namun dididik langsung oleh orang tuanya tentang agama dan tata krama.
Dinikahi Wedana Mayong
Pada tahun 1872, Ngasirah dinikahi oleh Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang saat itu menjabat sebagai Wedana Mayong.
Dari pernikahan ini, mereka hidup bahagia dan dikaruniai delapan anak, termasuk Kartini.
Namun, kebahagiaan Ngasirah tidak berlangsung lama. Saat Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara, aturan kolonial Belanda mewajibkan seorang bupati untuk memiliki istri dari kalangan bangsawan tinggi.
Karena Ngasirah bukan bangsawan, Sosroningrat harus menikahi Raden Adjeng Woejan, keturunan langsung Raja Madura.
Turun Status Jadi Selir
Perkawinan itu membuat Ngasirah turun status menjadi selir. Kendati sudah melahirkan anak, Ngasirah tidak diakui sebagai istri utama. Ia tinggal di bagian belakang pendapa kabupaten dan harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan sebutan “ndoro” atau majikan.
Sebaliknya, anak-anaknya pun memanggilnya “Yu”, panggilan yang biasa digunakan kepada perempuan abdi dalem. Namun Kartini menolak hal ini.
Kartini kerap memilih tinggal bersama ibunya di bagian belakang pendapa dan tidak mau memanggil Ngasirah dengan sebutan “Yu”.
Bahkan, ia mengajukan syarat agar ibunya boleh masuk pendapa utama jika ia harus menikah.
“Memori Kelam” yang Menjadi Api Perjuangan
Pengamat sejarah Edy Tegoeh Joelijanto mengatakan, pengalaman pahit itulah yang menjadi salah satu pemicu perjuangan Kartini melawan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan Jawa.
“Memori-memori kelam itulah yang mendorong Kartini menolak segala ketidakadilan saat itu, terutama yang bersinggungan dengan perempuan Jawa. Bahkan, berbagai literatur menyebut Kartini tidak malu mengakui jika ibunya itu adalah keturunan rakyat biasa,” kata Tegoeh saat dihubungi Kompas.com, Selasa (28/4/2020).
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar, Kartini menulis dengan lantang: