
Namun, tak banyak yang tahu bahwa sang kakak, Raden Mas Panji Sosrokartono, juga merupakan tokoh luar biasa yang kiprahnya diakui dunia internasional.
Sosrokartono, atau akrab disapa Kartono, adalah orang Jawa pertama yang menjadi wartawan internasional.
Ia bahkan menjadi saksi langsung perundingan gencatan senjata antara Sekutu dan Jerman pada Perang Dunia I—sebuah pencapaian yang nyaris tak pernah disorot dalam buku-buku sejarah nasional.
Lahir di Pelemkerep, Mayong, Jepara, pada 10 April 1877, Sosrokartono merupakan anak keempat dari R.M.A.A. Sosroningrat dan Ngasirah, serta kakak kandung dari R.A. Kartini.
Sebagai putra bangsawan, ia memperoleh pendidikan Barat sejak kecil dan melanjutkan studi ke Belanda di Universitas Leiden, di mana ia mendalami bahasa dan kesusastraan Timur.
Bakat linguistiknya luar biasa. Ia menguasai sembilan bahasa Timur dan tujuh belas bahasa Barat, termasuk Yunani dan Latin.
Kemampuannya ini kelak mengantarkannya menjadi penerjemah resmi di Liga Bangsa-Bangsa (1919–1921), cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun sebelum itu, Sosrokartono lebih dulu dikenal sebagai wartawan perang untuk The New York Herald Tribune, menulis dalam empat bahasa: Inggris, Spanyol, Rusia, dan Prancis.
Ia pernah meliput langsung perundingan rahasia antara pihak Sekutu dan Jerman pada akhir Perang Dunia I—sebuah peristiwa penting yang dijaga ketat, namun berhasil ia tembus.

Tak hanya itu, kontribusinya dalam perang membuatnya mendapat pangkat mayor kehormatan dari militer Amerika Serikat.
Gajinya sebagai wartawan perang kala itu disebut mencapai 1.250 dolar per bulan, jumlah yang setara dengan miliuner di Eropa masa itu.
Namun sepulangnya ke Hindia Belanda, kehebatan Sosrokartono tak serta-merta diakui. Ia sempat kesulitan mendapat pekerjaan, bahkan menolak tawaran dari pemerintah kolonial.
Ia lalu memilih menjadi pengajar di Taman Siswa Bandung bersama Ki Hajar Dewantara, sebelum menjalani kehidupan spiritual sebagai mantri kesehatan yang dipercaya memiliki kemampuan penyembuhan supranatural.
Meski hidupnya menjauh dari sorotan setelah kembali ke tanah air, jejak prestasi Sosrokartono di panggung internasional tetap menjadi warisan penting bagi bangsa Indonesia.
Ia meninggal dunia pada 8 Februari 1952 di Bandung, dan dimakamkan di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah.
“Sugih tanpa bandha / digdaya tanpa aji / nglurug tanpa bala / menang tan ngasorake”, adalah kalimat terakhir yang tersemat di nisannya.