
Penjara Banceuy di Kota Bandung menjadi saksi bisu salah satu momen paling penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di balik jeruji besi penjara kelas bawah peninggalan Belanda itu, Presiden pertama RI, Soekarno, merumuskan pleidoi legendaris berjudul Indonesia Menggugat, yang mengguncang kolonialisme di mata dunia.
Kisah dipenjaranya Soekarno bermula setelah ia aktif menggelar rapat-rapat umum di wilayah Solo dan Yogyakarta bersama rekan-rekannya dari Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kegiatan itu sebagai ancaman langsung terhadap kekuasaan, akhirnya menangkap Soekarno di Yogyakarta pada 9 Desember 1929.
Penangkapan itu dilakukan secara serentak. Di Bandung, dua rekan Soekarno, yakni Maskun dan Supriadinata, juga ditangkap.
Dari Yogyakarta, Soekarno digiring ke Jawa Barat menggunakan kereta api. Setelah menempuh perjalanan selama 12 jam, rombongan diturunkan di Cicalengka—sekitar 30 kilometer dari Bandung—untuk menghindari kericuhan publik. Dari sana, ia dibawa ke Rumah Penjara Banceuy dengan penjagaan ketat.
Kondisi Penjara Banceuy yang Kumuh
Menurut catatan dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Penjara Banceuy dibangun oleh arsitek Belanda pada 1877.
Lokasinya berada di Jalan Banceuy Nomor 8, Kota Bandung. Soekarno menggambarkan penjara itu sebagai bangunan bobrok, usang, dan tak layak huni.
Penjara tersebut terbagi menjadi dua jenis sel: untuk tahanan politik dan untuk tahanan yang disebut “pepetek”—mengambil nama dari ikan murah yang kerap dikonsumsi masyarakat miskin.
Para tahanan pepetek tidur di lantai, sedangkan tahanan politik seperti Soekarno tidur di ranjang besi sempit beralaskan tikar jerami setipis karton.
Makanan yang disajikan pun disebut “makanan pepetek”, terdiri dari nasi beras merah dan sambal.
Sesampainya di penjara, rambut Soekarno dipotong nyaris gundul dan ia mengenakan seragam biru dengan nomor di punggung.
Soekarno ditempatkan di Blok F Nomor 5 dari total 36 sel. Dari jumlah tersebut, hanya empat yang ditempati.
Soekarno di sel nomor 5, Gatot Mangkoepradja di sel 7, sementara Maskun dan Supriadinata yang menyusul kemudian, menempati sel nomor 9 dan 11.
Mereka diisolasi total. Tidak boleh menerima tamu, tidak boleh bertukar surat, dan tak diperkenankan berbicara bahkan dengan tahanan lainnya.